Resume Pengantar Hukum Indonesia
“Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum
Acara, HUkum Internasional, dan Hukum Tata Negara”
Disusun Oleh:
Mohamad Arista Hafid (113112330050056)
Fakultas Hukum
UNIVERSITAS NASIONAL
I.
Hukum Pidana
1.
Pengertian Hukum Pidana.
Ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana
tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang
ada dalam masyarakat itu. Peraturan-peraturan ini dikeluarjan oleh suatu badan
yang berkuasa dalam masyarakat itu yang disebut pemerintah.
Namun
walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan, masih ada saja orang yang
melanggar peraturan-peraturan, misalnya dalam hal pencurian yaitu mengambil
barang yang dimiliki orang lain dan yang bertentangan dengan hukum (KUHP pasal
362).
Hukum
pidana ialah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan
kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum,perbuatan mana diancam dengan
hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
Dalam Hukum
Pidanan paksaan disertai suatu siksaan atau penderitaan yang berupa hukuman.
Hukuman itu bermacam-macam jenisnya. Menurut KUHP pasal 10 hukuman atau pidana
terdiri atas:
1. Pidana Pokok (utama):
1) Pidana
mati.
2) Pidana
penjara:
a.
pidana seumur hidup.
b. pidana penjara selama waktu
tertentu (setinggi-tingginya 20 tahun
sekurang-kurangnya 1 tahun)
3)
Pidana kurungan, (sekurang-kurangnya 1 hari dan setinggi-tingginya
1
tahun)
4) Pidana denda.
5) Pidana tutupan.
2.
Tujuan Hukum Pidana.
Tujuan Hukum Pidana ada dua macam:
1) Untuk
menakut-nakuti setiap orang agar mereka tidak melakukan perbuatan
pidana (fungsi preventif).
2) Untuk mendidik orang yang telah melakukan perbuatan
yang tergolong
Perbuatan pidana agar mereka menjadi orang yang baik dan dapat diterima
Kembali dalam masyarakat (fungsi represif).
Jadi secara singkat dapat disimpulkan bahwa tujuan
hukum pidana adalah untuk melindungi
masyarakat. Apabila seseorang takut untuk melakukan perbuatan tidak baik karena
takut dihukum, semua orang dalam masyarakat akan tenteram dan aman. Sebaliknya,
jika seseorang telah melakukan perbuatan pidana dan karenanya dia dihukum, bila
orang itu kemudian sadar setelah bertobat tidak akan melakukan perbuatan
semacam itu lagi, pada akhirnya masyarakat akan menjadi aman dan tenteram. Oleh
karena itu, dapat juga dikatakan bahwa tujuan hukum pidana sama dengan tujuan
pemidanaan, yaitu melindungi masyarakat.
3.
Pembagian Hukum Pidana.
Hukum Pidana dapat dibagi sebagai berikut:
1) Hukum
Pidana Obyektif (Jus Punale) adalah seluruh peraturan yang memuat
Tentang
keharusan atau larangan dengan disertai ancaman hukuman bagi yang
Melanggarnya. Hukum Pidana objektif dibedakan menjadi 2, yaitu:
a) Hukum pidana material ialah semua peraturan
yang memuat apa, siapa, dan
bagaimana orang dapat dihukum.
b) Hukum pidana formal ialah peraturan-peraturan
hukum yang menentukan
bagaimana cara memelihara dan mempertahankan hukum pidana material.
2) Hukum
pidana subjektif ( Ius Puniendi) adalah hak Negara untuk menghukum
seseorang
berdasarkan hukum objektif.
3) Hukum
pidana umum.
4) Hukum
pidana khusus.
4.
KITAB UNDANG – UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP).
A. Sejarah Terbentuknya KUHP
KUHP yang
berlaku di Indonesia saat ini terbentuk sejak tahun 1915 (dalam bentuk
kodifikasi) melalui S.1915 No. 732. KUHP ini mulai berlaku sejak 1 januari 1918
ketika Indonesia masih dalam penjajahan Belanda. Setelah Indonesia merdeka KUHP
dinyatakan berlaku melalui UU No.1 Tahun 1946 (sudah diubah dan disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat Indonesia). Kemudian KUHP dinyatakan berlaku umum
(unifikasi hukum pidana) melalui UU No. 1 Tahun 1958 (29 September 1958).
Kodifikasi KUHP adalah selaras dari Code
Penal Prancis, dan Code Penal Prancis
bersumber dari hukum Romawi. Jadi sumber KUHP sebenarnya dari hukum Romawi.
B. Sistematika KUHP
KUHP terdiri dari tiga buku:
Buku I : Mengatur tentang ketentuan umum terdiri dari
9 bab, tiap bab terdiri
dari berbagai pasal yang jumlahnya 103 pasal
(Pasal 1 – 103).
Buku II : Mengatur tentang kejahatan terdiri dari 31
bab dan 385 pasal
(Pasal 104 – 448).
Buku III : Mengatur tentang pelanggaran terdiri dari 10
bab yang memuat 81 pasal
(Pasal 449 – 569).
C.
Kekuasaan Berlakunya KUHP
Kekuasaan
berlakunya KUHP dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi negatif dan segi postif. Segi negatif dikaitkan
berlakunya KUHP dengan waktu terjadinya perbuatan pidana. Artinya bahwa KUHP
tidak berlaku surut. Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1 ayat (1)
KUHP yang bunyinya:
“ Semua perbuatan tidak dapat dihukum selain
atas kekuatan aturan pidana
Dalam undang-undang yang diadakan sebelum perbuatan itu
terjadi”.
Kekuasaan
berlakunya KUHP ditinjau dari segi positif artinya bahwa kekuatan berlakunya
KUHP tersebut dikaitkan dengan tempat terjadinya perbuatan pidana. Kekuasaan
berlakunya KUHP yang dikaitkan dengan tempat diatur dalam Pasal 2 ayat (9)
KUHP.
D.
JENIS – JENIS HUKUMAN
Jenis –
jenis hukuman dapat dilihat dari ketentuan Pasal 10 KUHP. Pasal 10 KUHP
menetukan adanya hukuman pokok dan hukuman tambahan.
Hukuman pokok adalah:
a) Hukuman mati.
b) Hukuman penjara.
c) Hukuman kurungan.
d) Hukuman denda.
Hukuman tambahan adalah:
a) Pencabutan hak – hak tertentu.
b) Perampasan / penyitaan barang – barang
tertentu.
c) Pengumuman putusan hakim.
II.
Hukum Perdata
1.
Pengertian Hukum Perdata.
Hukum perdata dalah aturan-aturan hukum yang
mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan
hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan
keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan
hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan
perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara
seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain. Hukum
perdata formal mempertahankan hukum perdata material, karena hukum perdata
formal berfungsi menerapkan hukum perdata material apabila ada yang
melanggarnya.
2.
Sejarah KUH Perdata (BW).
Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUH Perdata) yang dikenal dengan istilah burgerlijk wetboek (BW)
adalah kodifikasi hukum perdata yang disusun di negeri Belanda. Penyusunan
tersebut sangat dipengaruhi oleh Hukum Perdata Prancis (Code Napoleon). Code
Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris Civilis) yang
pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
KUH
Perdata (BW) berhasil disusun oleh sebuah panitia ayng diketuai oleh Mr. J.M
Kemper dan sebagian besar bersumber dari Code Napoleon dan bagian yang lain
serta dari hukum Belanda kuno. Kodifikasi KUH Perdata selesai pada 5 Juli 1830,
namun diberlakukan di negeri Belanda pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu
diberlakukan juga KUH Dagang (WVK), peraturan susunan pengadilan Belanda
(Rechterlijke Organisatie/RO), dan ketentuan-ketentuan umum perundangan-udangan
Belanda (Algemene Bepalingen van Wetgeving/AB), dan hukum acara perdata Belanda
(Rechts Vordering). Berdasarkan asas konkordinasi, maka KUH Perdata Belanda
menjadi contoh KUH Perdata Eropa di Indonesia.
3.
Sistematika Hukum Perdata dalam KUH Perdata (BW).
Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (BW) Indonesia terdiri dari empat buku sebagai
berikut:
1) Buku I,
yang berjudul “perihal orang” (van persoonen),memuat hukum perorangan
dan
hukum kekeluargaan.
2) Buku II,
yang berjudul “perihal benda”(van zaken), memuat hukum benda dan
Hukum
waris.
3) Buku III,
yang berjudul “perihal perikatan” (van verbintennisen), memuat hukum
Harta
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban yang berlaku bagi
Orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
4) Buku IV,
yang berjudul “perihal pembuktian dan kedaluwarsa” (van bewijs en
Verjaring), memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat
waktu
Terhadap
hubungan-hubungan hukum.
4. Sisetamatika Hukum Perdata Menurut Ilmu
Pengetahuan.
Menurut
ilmu pengetahuan, hukum perdata sekarang ini lazim dibagi dalam empat bagian,
yaitu:
1) Hukum tentang orang
atau hukum perorangan (persoonenrecht) yang antara lain
Mengatur tentang:
a. Orang sebagai subjek hukum.
b. Orang dalam kecakapannya untuk
memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk
melaksanakan hak-hak nya itu.
2) Hukum kekeluargaan
atau hukum keluarga (familierecht), yg memuat antara lain:
a. Perkawinan, perceraian beserta
hubungan hukum yang timbul di dalamnya
seperti hukum harta kekayaan antara suami dan istri.
b. Hubungan hukum antara orangtua
dan anak-anaknya atau kekuasaan orangtua
(ouderlijke macht).
c. Perwalian (voogdij).
d. Pengampuan (curatele).
3) Hukum
kekayaan atau hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang mengatur
Tentang
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum
Harta
kekayaan ini meliputi:
a. Hak mutlak ialah hak-hak yang berlaku
terhadap setiap orang.
b. Hak perorangan adalah hak-hak yang hanya
berlaku terhadap seorang atau
suatu pihak tertentu saja.
4) Hukum
waris (erfrecht) mengatur tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia
Meninggal dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan keluarga
terhadap harta warisan yang ditinggalkan seseorang.
III.
Hukum Tata Negara.
1. Pengertian Hukum Tata Negara.
1. Pengertian Hukum Tata Negara.
Hukum Tata Negara dalam arti luas meliputi
:
1. Hukum Tata Usaha Negara/
Hukum Administrasi / hukum pemerintah
2. Hukum Tata Negara dalam
arti sempit, ialah Hukum Tata
Negara.
Jadi kesimpulan Hukum Tata
Negara menurut para pakar adalah:
Peraturan-peraturan yang mengatur organisasai Negara dari tingkat atas sampai bawah,sturktur,tugas &
wewenang alat perlengkapan Negara hubungan antara perlengkapan tersebut secara
hierarki maupun horizontal,wilayah Negara,kedudukan warga negara serta hak-hak
asasnya.
2. Hubungan Hukum Tata Negara
dengan Ilmu lain.
1) Hubungan Hukum Tata Negara
dengan Ilmu Negara
• Segi sifat
intinya dari segi itu ilmu Negara menitik beratkan pada teorinya sedangkan
Hukum Tata Negara adalah pelaksanaannya.
• Segi manfaat
Ilmu Negara merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian
–
pengertian pokok dan sendi-sendi dasar teoritis yang bersifat umum
untuk
Hukum Tata Negara. Karenanya
untuk mengerti Hukum Tata Negara harus
terlebih dahulu Memiliki pengetahuan secara umum tentang Ilmu
Negara.
Dengan demikian Ilmu Negara dapat memberkan dasar teoritis untuk hukum Tata
Negara positif, dan Hukum Tata Negara merupakan penerapan didalam
kenyataan bahan-bahan teoritis
dari Ilmu Negara.
2) Hubungan Hukum Tata Negara
dengan Ilmu Politik
• Terbentuknya Undang-undang.
Terbentuknya undang-undang diisi
dengan kebijakan politik yang ditarik
pada
Waktu penyusunannya, kita perhatikan
pembukaan UUD , disitu jelas akan
Mengetahui politik suatu Negara.
Begitu pula dengan amandemen UUD 45 oleh
MPR.
• Retifikasi yang dilakukan DPR
dalam pembentukan undang-undang,
Rancangannya dipengaruhi oleh suara
wakil rakyat yang ada dalam DPR,
sedangkan DPR merupakan wakil dari
organ-oragan politik.
3) Hubungan Hukum Tata Negara
dengan Hukum Administrasi Negara
Dikatakan berhubungan, karena Hukum Tata Negara dalam arti sempit adalah
bagian dari Hukum Administrasi Negara.
• Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara ada perbedaan secara
prinsipil ( asasi), karena kedua ilmu
tersebut dapat dibagisecara tajam, baik
sistematik maupun isinya (C.V.Vollenhoven, JHA.Logeman dan Stellinga).
• Hukum Tata Negara untuk
mengetahui organisasi Negara sertabadan lainya,
sedangkan Hukum Administrasi Negara
menghendaki bagaimana caranya
Negara serta organ-organ melakukan
tugas.
• Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
tidak ada perbedaan secara
prinsipil melainkan hanya
pertimbangan manfaat saja.
2. Cara Pendekatan dalam Hukum Tata Negara.
1) Pendekatan Yuridis Formil
Pada asas-asas hukum
yang mendasari ketentuan peraturan , contohnya :
perundang-undangan tidak
boleh menyimpang dari UUD 45.
2) Pendekatan
Filosofi
Pada pandangan hidup bangsa. Contohnya: falsafah bangsa
Indonesiaadalah pancasila.
3) Pendekatan Sosiologis
Pada kemasyarakatan
khususnya politis artinya ketentuan yang berlaku
Hakikatnya merupakan hasil
keputusan politis.
4) Pendekatan Historis
Pada sudut
pandang sejarah. Contoh nya kronologis pembuatan.
IV. Hukum
Acara Perdata, Pidana dan Peradilan Tata Usaha Negara.
A.Hukum Acara Perdata.
Hukum Acara Perdata disebut
juga HUkum Perdata formil, yaitu aturan-aturan hukum yang mengatur cara
bagaimana orang harus bertindak terhadap dan dimuka Pengadilan dan cara
bagaimana Pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain unutk melaksanakan
berjalannya peraturan-peraturan Hukum Perdata.
Sumber Hukum Acara Perdata masih terdapat
dalam kodifikasi warisan zaman colonial Belanda yang terdapat dalam HIR
(Herziene Inlands Reglement) yang diterjemahkan menjadi RIB (Reglemen Indonesia
yang Diperbaharui).
Pada tiap-tiap perkara
perdata yang diperiksa di muka Pengadilan, sekurang-kurangnya ada dua pihak
yang berhadapan satu sama lain, yaitu Penggugat dan Tergugat. Pengugat adalah
pihak yang mulai membuat perkara sedang Tergugat adalah pihak Penggugat ditarik
ke muka Pengadilan.
Adanya suatu perkara
perdata, tergantung pada inisiatif Penggugat, yaitu dimulainya pengajuan surat
oleh Penggugat atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam daerah
hukumnya Tergugat bertempat tinggal (Pasal 118 HIR). Kalau Tergugatnya lebih
dari seorang, maka gugatannya dimasukkan ke Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat tinggal salah satu Tergugat yang yang dipilih oleh
Penggugat. Jika tempat diam Tergugat tidak dikenal, ataupun tempat tinggal
sebetulnya tidak diketahui maka surat gugatan dapat dimasukkan kepada Ketua
Pengadilan Negeri di mana Penggugat berdomisili.
Pemeriksaan perkara dalam
siding pengadilan adalah bersifat terbuka. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal
19 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 19 Ayat (1):
“ Sidang pemeriksaan
Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-
undang menentukan lain.”
Sedang Keputusan Hakim juga
harus diucapkan dalam siding terbuka, seperti yang diatur dalam Pasal 20
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20:
“ Semua putusan pengadilan
hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila
diucapkan dalam siding
terbuka untuk umum.”
Dari Kedua ketentuan di
atas dapat dikatakan bahwa setiap pemeriksaan dalam siding terbuka untuk
dilakukan pemeriksaan tertutup apabila udnang-undang menentukan lain misalnya
dalam pemeriksaan perceraian, atau perkosaan dalam perkara pidana. Walaupun
pemeriksaannya dilakukan secara tertutup, tapi pembacaan keputusan Hakim harus
dilakukan dalam siding terbuka sesuai dengan Pasal 20 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004.
Pemeriksaan dilakukan
dengan siding terbuka artinya setiap orang dapat hadir mendengarkan jalannya
siding. Tujuan dari ketentuan ini adalah unutk:
1) Melindungi hak-hak asasi
manusia (khusus dalam hal ini para pihak yang
Sedang berperkara).
2) Menjamin
adanyaobjektivitas peradilan.
Di dalam Hukum Acara
Perdata dikenal adanya 5 macam alat pembuktian, yaitu:
a) Bukti Tulisan, c)
Persangkaan (dugaan),
e) Sumpah.
b) Bukti saksi, d)
Pengakuan, dan
B. Hukum Acara Pidana.
Hukum Acara
Pidana disebut juga Hukum Pidana Formil adalah keseluruhan aturan hukum yang
mengenai cara melaksanakan ketentuanHukum Pidana jika ada pelanggaran terhadap
norma-norma yang dimaksud oleh ketentuan ini.
Adapun proses pelaksanaan
acara pidana terdiri dari beberapa tingkatan. Berbeda dengan pemeriksaan dalam
hukum acara perdata yang mengejar kebenaran formil, dalam hukum acara pidana
yang dikejar adalah kebenaran materil, di mana suatu pengakuan tanpa didukung
oleh alat bukti bukanlah merupakan alat bukti mutlak. Juga pemeriksaan dalam
acara perdata hanya dalam siding, sedangkan dalam hukum acara pidana dikenal
pemeriksaaan di luar sidang.
Pemeriksaan dalam hukum
acara pidana adalah sebagai berikut:
a) Pemeriksaan pendahuluan
(vooronderzoek).
b) Pemeriksaan terakhir
(eindonderzoek) di dalam siding Pengadilan pada tingkat
pertama.
c) Memajukan upaya hukum
(rechtsmiddelen) yang dapat dijalankan terhadap
putusan hukum, baik di
tingkat pertama maupun pada tingkat banding.
d) pelaksanaan putusan Hakim.
Setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum (Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004).
Pengaturan dalam UU Pokok
kekuasaan Kehakiman lebih maju mengenai kedudukan Tersangka, seperti dalam
Pasal 38-nya yang berbunyi: “Dalam
perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat dilakukannya penangkapan
dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan Penasihat Hukum.”
Menurut seorang terdakwa di
muka Hakim Pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas
perkaranya kepada Hakim, dengan permohonan supaya Hakim memeriksa dan kemudian
memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. Seorang terdakwa/tersangka
dalam menghadap di siding pengadilan boleh ddampingi pembela, dapat tidak
didampingi, kecuali dalam hal terdakwa atas perbuatannya dapat diancam dengan
pidana mati. Dalam hal ini, ia harus didampingi oleh pembela. Kalau terdakwa
tidak mampu, maka kewajiban pihak Pengadilan unutk menyediakan pembela.
Dalam siding ini baik
Terdakwa maupun Jaksa dapat mengajukan alat-alat bukti. Alat bukti dari
Terdakwa gunanya unutk menangkal tuduhan Jaksa, sedang dari pihak menguatkan
tuduhannya. Alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara Pidana yang diatur dalam
KUHAP Pasal 184 adalah:
a) Keterangan saksi,
b) Keterangan ahli,
c) Surat-surat,
d) Petunjuk, dan
e) Keterangan terdakwa.
Setelah pemeriksaan alat-alat
bukti selesaim maka tiba saatnya Jaksa membacakan tuntutannya (requisitoir),
dan setelah Jaksa membacakan tuntutannya, tiba giliran Terdakwa membacakan
pledoi, dan kesempatan berikutnya ada pada Jaksa membacakan replik. Kemudian
kesempatan berikutnya terdakwa membacakan duipliknya. Kesempatan diberikan
kepada kedua belah pihak Jaksa dan Terdakwa, sampai kedua belah pihak puas.
Setelah Hakim memperoleh keyakinan dengan alat-alat bukti yang sah akan
kebenaran perkara tersebut,maka Hakim akan mempertimbangkan hukuman apa yang
akan dijatuhkan.
Keputusan Hakim (vonis) dapat
berupa:
a) Putusan yang mengandung
pembebasan terdakwa (vrijspraak), dalam hal ini
perbuatan yang dituduhkan
Jaksa tidak terbukti.
b) Putusan yang mengandung
pelepasan Terdakwa dari segala tuntutan (ontslag van
rechtsvervolging), da;am hal
ini perbuatan yang dituduhkan Jaksa terbukti tetapi
bukan merupakan kejahatan
ataupun pelanggaran.
c) Putusan yang mengandung
penghukuman.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
Dengan diundangkannya UU No. 81 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), maka pelaksanaan HUkum Acara Pidana di Negara kita didasarkan kepada
hukum nasional yang kita ciptakan sendiri.
KUHAP yang lahir pada bulan Desember 1981 ini, dimaksudkan sebagai
pelaksana dari UU No. Tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Hal-hal atau ketentuan-ketentuan baru yang merupakan perbedaan dengan
ketentuan yang ada dalam HIR adalah meliputi hal-hal sebagai berikut:
a) Penyidikan
b) Pemisah fungsi penuntut umum
dan penyidik (polisi)
c) Praperadilan
d) Masa Penahanan
e) Setiap orang berhak
mendapatkan bantuan hukum
f) Ganti tugi dan rehabilitasi
g) Acara pemeriksaan
h) Banding.
C. Hukum Acara Peradilan Tata
Usaha Negara.
Pasal 10 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan bahwa, Kekuasaan dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan:
a) Peradilan Umum
b) Peradilan Agama
c) Peradilan Militer
d) Peradilan Tata Usaha Negara
Hukum Acara yang digunakan
pada PTUN mempunyai persamaan dengan acara yang digunakan pada Peradilan Umum
untuk perkara perdata dengan beberapa perbedaan antara lain adalah:
a) Pada PTUN Hakim berperan lebih
aktif dalam proses persidangan, guna
memperoleh kebenaran material
dan untuk itu undang-undang ini mengarah pada
ajaran pembuktian bebas.
b) Suatu Tata Usaha Negara pada
dasarnya tidak bersifat menunda pelaksanaan
Keputusan TUN yang
disengketakan.
c) Kedudukan Penggugat dan
Tergugat pada PTUN akan tetap sama sampai tingkat
kasasi tidak dimungkinkan
adanya gugat balik, sehingga tidak ada Penggugat dan
Tergugat rekonvensi.
d) Pada PTUN pengajuan gugatan
diberi batas waktu yaitu 90 (Sembilan puluh) hari.
Wewenang Peradilan Tata Usaha
Negara
Wewenang PTUN adalah mengadili sengketa Tata Usaha Negara antara orang
atau Badan Hukum Privat (sebagai Penggugat dengan Badan atau Pejabat TUN).
Yang dimaksud dengan sengketa
TUN adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang
atau badan hukum privat dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik di
tingkat pusat maupun daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 1 butir ke-4).
Objek Sengketa Tata Usaha Negara
Menurut Pasal 1 butir ke-3 UU No. 5 Tahun 1986, dikatakan bahwa objek
atau pangkal sengketa Tata Usaha Negara adalah: “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisikan tindakan
hukum tata usaha yang berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku bersifat
konkrit, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seorang atau
badan hukum perdata”.
Gugatan
Dalam Pasal 53 Ayat (1) ditegaskan bahwa: “seorang atau Badan Hukum perdata yang merasa dirugikan oleh suatu
Keputusan tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang
diselenggarakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”
Pembuktian
Alat bukti yang dikenal dalam Hukum Acara PTUN adalah:
a) Surat atau tulisan, e) Pengetahuan hakim.
b) Keterangan ahli,
c) Keterangan saksi,
d) Pengakuan para pihak, dan
V. Hukum
Internasional
1. Pengertian Hukum
Internasional.
Hukum Internasional adalah
keseluruhan Kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas-batas Negara yang bukan bersifat perdata. Hukum
Internasional yang dimaksud adalah Hukum Internasional publik. Penegasan ini
untuk membedakan antara hukum internasional publik dan hukum perdata
internasional. Hukum perdata internasional menurut Dr. Mochtar Kusumaatmadja
adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan perdata antara
pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata nasional yang
berbeda.
2. Istilah Hukum Internasional.
Para ahli hukum menyebut hukum internasional dengan berbagai istilah,
yaitu:
1) Hukum bangsa-bangsa.
2) Hukum antarbangsa.
3) Hukum antarnegara.
Pengertian istilah-istilah
tersebut tidak berbeda satu sama lain, sebab semuanya menunjuk pada
kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas-batas Negara. Dengan kata lain hukum internasional mengatur
hubungan antara:
a) Negara dan Negara.
b) Negara dan subjek hukum
internasional bukan Negara.
c) Subjek hukum internasional
bukan Negara satu sama lain.
3. Subyek Hukum Internasional.
a) Negara:
Yang diakui sebagai subyek
Hukum Internasional hanyalah Negara yang berdaulat,
Negara yang tidak
tergantung kepada Negara lain.
b) Gabungan Negara:
Gabungan Negara-negara ini
bertindak dalam pergaulan antar Negara-negara sebagai kesatuan, seperti dulu
ada Duitse Bond.
c) Organisasi-organisasi
Internasional:
Misalnya: Liga
Bangsa-Bangsa,Perserikatan Bangsa-Bangsa. Keterangan: Organisasi
Liga Bangsa-Bangsa lahir pada
tahun 1920 (ciptaan Presiden Amerika Wilson yang
bertujuan menjamin
perdamaian. Tetapi misinya gagal dengan pecahnya perang
dunia.
d) Kursi Suci (Heilige Stoel)
Yang dimaksud dengan Kursi
Suci adalah Gereja Katholik Roma yang diwakili oleh
Paus. Walaupun Kursi Suci
bukanlah suatu Negara namun dianggap sebagai
Negara.
e) Manusia
Mengenal manusia sebagai
subyek hukum dari hukum Internasional di samping
Negara, masih banyak yang
belum dapat menerima, tetapi pendapat ini makin
lama makin di terima umum.
3. Sumber Hukum Internasional.
Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi
dua, yaitu:
a) Sumber hukum dalam arti materiil
Sumber hukum yang membahas materi dasar
yang menjadi substansi dari
pembuatan hukum itu sendiri.
b)
Sumber hukum dalam arti formal.
Sumber hukum yang membahas bentuk atau
wujud nyata dari hukum itu sendiri.
Sumber
hukum internasional dapat diartikan sebagai:
a. Dasar kekuatan
mengikatnya hukum internasional.
b. Metode penciptaan
hukum internasional.
c. Tempat
diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat
diterapkan pada suatu persoalan konkrit.
4. Asas – Asas Hukum Internasional.
Pada hakekatnya asas yang dipakai dalam hukum Internasional adalah asas
yang saling menjaga ketertiban, keamanan dan ketentraman dunia Internasional.
Tidak diperbolehkan salah satu negara membuat keresahan dunia, bahkan mengancam
keamanannya. Akan tetapi setiap negara diharuskan untuk menciptakan situasi
yang kondusif, melalui beberapa kebijakannya tersebut.
Asas-asas hukum Internasional diantaranya adalah:
1)
Pacta sunt servada.
2) Asas
Kedaulatan Negara.
3) Asas
Penyalahan hak.
4) Asas
Penghormatan Kemerdekaan.
5) Asas
Timbal Balik.
6) Asas
Iktikad.
7) Asas
non intervensi.
Daftar Pustaka
1.
J.B. Daliyo, S.H. ------ “Pengantar Hukum
Indonesia”
2.
Drs. C.S.T Kansil. S.H. ------ “Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia”
3.
A. Siti Soetami. S.H. ------ “Pengantar
Tata Hukum Indonesia”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar